Wednesday, October 29, 2014

Orang itu senang sekali mengunjungiku, hampir tiap hari aku bisa melihatnya mendekatiku, melihatku, dan kadang sesekali dia membisiki jiwaku, seolah dia berbicara bahasa yang sama denganku. Bahasa yang selalu diucapkan dengan gerakan bibir, bukan tangan. Dia mengatakan bahwa angin tidak berbahasa, angin hanya berbisik, tapi bagiku, bahasa angin sangat indah, angin berbahasa seperti aku. Angin sering berbicara denganku, mengatakan hal-hal lucu tentang langit.

Beberapa kali dia menegurku, menanyakan keadaanku dengan suara yang sumbang mengikuti caraku berbicara. Dia menuliskan beberapa kata di atas tanah menggunakan ujung jarinya, seolah berusaha menjelaskan keingintahuannya atas diriku dan duniaku. Sangat lucu melihatnya berbicara dengan bahasa seperti itu, aku menyukainya. Aku menyukai kebingungannya atas suaraku.

Hari ini, di hari ke seratus sekian, dia kembali datang, tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya ketika dia mendatangiku, kali ini dia tidak tersenyum. Wajah sedih nya terlihat seperti awan mendung di hari yang cerah. Aku tidak menyukainya. Aku kembali teringat akan semua kisah yang pernah dia ceritakan padaku. Dia pernah bercerita tentang A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, dan N. Begitu banyak kisah untuk orang yang tidak memiliki sayap sepertinya. Dia selalu menyombongkan kakinya, dia berkata bahwa berjalan dengan kaki itu menyenangkan, sama menyenangkannya dengan gemericik embun saat fajar. Aku tidak terlalu memahami maksudnya.

Dia diam, tidak mengajakku berbicara atau menggambarkan bahasanya untukku seperti yang biasa dia lakukan. Dia hanya termenung disana dan duduk. Dalam diamnya, aku melihat bunga-bunga berguguran, angin tidak berhembus. Jiwaku menjadi terluka dan kesepian. Dia tidak memberikan air yang cukup untuk diriku hari ini. Setiap lekuk kesedihan di wajahnya, seolah seperti kilat yang menyambar layanganku di angkasa. Menyakitkan.

Mungkin, untuk malam yang beku kali ini, aku mengingat betapa penting suaranya untuk menjaga kupingku dari ketulian, dan betapa penting pandangannya untuk membebaskanku dari kebutaan. Aku kembali menoleh kearahnya, dia bergerak, berdiri. Pumdaknya yang lebar tidak memberiku ruang untuk mendekatinya, tidak seperti sebelumnya. Dia berjalan menjauh, dan menghilang di balik kabut biru dari malam yang tidak berbulan. Mungkin dia terlalu lelah hari ini, terlalu lelah mempelajari bahasaku. Mungkin jika saja dia memberi tahu tentang tempat tinggalnya, aku akan datang sesekali dan bercerita padanya, tapi aku rasa dia tidak mempercayaiku sebanyak aku mempercayainya.

Aku ingat saat dia memberiku apel, dia berusaha menyuruhku menggigitnya, menelannya, dia berkata bahwa itu bisa membuatku hidup dan tidak mati kelaparan. Dia mengajarkanku tentang bentuk bulan yang bulat, padahal seumur hidupku, aku melihat bulan sepeti garis melekuk yang tajam. Dia juga bercerita tentang hujan, dia mengatakan bahwa hujan bisa membuatmu kedinginan, awalnya aku tidak mengerti, karena selama ini aku melihat hujan seperti music yang membuatku menari, dan mungkin itu akan tetap menjadi hal yang tidak bisa aku mengerti sekuat apapun aku berusaha.


Mungkin esok dia akan kembali lagi kesini. Mengajarkanku lebih banyak hal. Dia pernah berkata bahwa mungkin suatu hari dia akan membuatkanku sebuah rumah. Rumah adalah tempat berlindung, katanya. Aku tidak mengerti, bukankah kita terbiasa berlindung di akar-akar pohon? Merasa aman di bawah pohon besar yang kuat?entahlah. Dia mungkin akan mengajarkanku bertapa pentingnya memiliki rumah. Suatu hari, mungkin dia akan benar-benar kembali membuatkan rumah untukku.

karimashita blog-space ♥ . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates