Seperti biasa, saat matahari makin jauh
dan bersembunyi, awan berubah warna menjadi jingga, aku berjalan dengan yakin
ke arahmu.
Kau yang selalu
ada disana sendirian dan terdiam. Aku
selalu mendatangimu, setiap senja yang hangat seperti saat ini. Aku hanya ingin
mengajakmu berbincang-bincang, tidak peduli walau kau hanya terus terdiam
seperti itu dan tidak menjawab.
Hai.... –aku memulai pembicaraan.
Kau tau, aku merasa bahwa semua hal ini menjadi sangat
membingungkan. Entah hal apa yang masih bisa aku percayai. Semua orang menjadi
terlalu sibuk untuk meluangkan sedikit saja waktu mereka untuk mendengarkan. Mereka
hanya mau membagi perhatian mereka untuk sesuatu yang menghancurkan mereka pada
akhirnya. Tapi tidak dengan dirimu, karena aku tau kau selalu disana untuk
mendengarkan aku. –aku berkata lagi. Kuhela nafas panjang. Angin menerbangkan
beberapa daun di udara. Senja semakin membeku. Aku diam untuk beberapa saat,
membiarkan detik-detik menjadi lebih berharga untuk kita berdua, dengan suara
desir angin yang lembut dan menggairahkan, bahkan mungkin maut menjadi lunak
dalam suasana ini. Mungkin maut akan lebih baik dan penyabar.
Aku takut jika terlalu lama terjebak seperti ini. Aku kehilangan
semuanya setelah aku kehilanganmu. –nada suaraku merendah dan serak. Mataku
mulai terasa panas. Aku tau bahwa butiran-butiran airmata ini makin mendesak
untuk bisa berjalan keluar dan ikut menikmati angin disini, disekitar kita.
Andai saja aku tidak terlalu sakit jiwa, mungkin Tuhan
tidak akan menghukumku seberat ini. Mungkin tidak ada hari yang lebih indah
dari hari saat hujan turun dan aku meleleh bersama dengan rintiknya, lalu masuk
dan berpelukan dengan tanah. Aku sudah terlalu jauh melihat diriku sendiri. –aku menunduk
dalam, hingga aku bisa melihat tanah di bawah kaki ku menjadi kemerahan karena
senja yang redup. Senja tidak pernah mau berbagi atas kesabaran ini. Selalu saja
cepat dan hangat. Tidak akan ada yang menyadari saat waktu telah hilang dan
berlalu.
Aku ingin menjadi air atau mungkin angin saja, itu jika
aku bisa mati dan dihidupkan kembali dalam kehidupan yang baru, dalam fisik
yang baru pula. Aku tidak ingin lagi menjadi manusia. Kau tau alasanku bukan?? Yaa...karena
saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang menyiksa. Aku menginginkan tubuhmu
merangkulku, tapi aku hanya mendapati jiwamu disana. Kosong. –aku mulai
terisak. Airmata tidak bisa lagi tertahankan. Satu atau dua butir airmata jatuh
dengan cepat diatas penanda mu itu. Aku memang tidak akan meneteskannya diatas
tanah yang melindungimu itu. Aku tidak mau kau merasakan betapa pahitnya
airmata kesedihanku.
Mereka tidak akan mau lagi mendengarkan apapun dari
mulutku, jika itu tentang kesedihan, jika itu tentangmu. Mengapa mereka bisa
menjadi begitu egois?. Padahal aku dengan sabar dan tenang membiarkan Tuhan
memutuskan waktumu untuk bersamaku. Benar kan? –aku kembali
terisak. Senja makin membeku dan biru. Selalu seperti ini, sekejap percakapanku
dan waktu sudah berlalu. Aku berdiri. Untuk beberapa detik aku melihat ke
arahmu dan langsung membalikkan badanku. Aku berjalan cepat. Aku akan menemuimu
lagi, di senja yang lain.